Fomo adalah Fear Of Missing Out, dengan kata lain artinya seseorang takut ketinggalan mencoba hal-hal yang kekinian.
Ciri-ciri orang FOMO antara lain:
- Ngerasa nggak gaul / nggak eksis/ kudet saat orang-orang disekitarnya sudah update, mencoba hal yang lagi ngetrend saat itu tetapi dirinya sendiri belum
- Nggak mau ketinggalan, pokoknya harus coba
- Habis mencoba hal baru tersebut, langsung update di sosial media
@PsikologID mengatakan dalam tweetnya:
“40% dari pengguna media sosial menderita sindrom FOMO (Fear of Missing Out) alias takut ketinggalan update terkini (JWTIntelligence).”
Contoh yang paling sering:
- Saat muncul Path, langsung deh bikin akun sosmed path
- Saat muncul update instastory, dan whatsapp status langsung deh mencoba fitur itu dan nggak mau ketinggalan
- Saat muncul artis jualan kue oleh-oleh, langsung nggak mau ketinggalan untuk antri beli dan posting di sosmed karena sudah berhasil mencoba makanan itu
- Saat event BBW (Big Bad Wolf) digelar, langsung menyerbu. Mending jadi personal shopper, lha ini jadi jastiper alias calo yang jahat banget memborong buku untuk dijual lagi
- Saat transmart dibuka, langsung menyerbu untuk datang. Dibela-belain macet, antri dan nggak nyaman di sana.
Lalu orang Fomo membalas…
Emang salah mencoba semua itu? Sudah disediakan, ya harus dicoba!
Kalau kamu nggak suka lihatnya, unfollow gue aja
Padahal.. banyak dari kita yang dibuat kecewa dengan menjadi fomo.
- Orang lain merasa ilfeel melihat instastory kita yang mirip jahitan benang. Tiap beberapa menit sekali update instastory. Akhirnya yang tadinya kepo melihat instastory seseorang, jadi males buka lagi.
- Oleh-oleh kekinian ala artis pun ujung-ujungnya menjadi biasa aja, dari segi rasa tentunya. Tuh lihat komen-komennya di instagram Bandung Makuta punya LCB, banyak yang mengeluh manajemennya buruk. Antrian panjang, rasa ga sesuai harapan. Beli banyak untuk dibawa oleh2, malah dikira calo. Calo beneran yang markup harga kue malah dibiarin.
- Saat event BBW tahun ini, banyak orang yang kecewa karena jastiper. Baca aja reviewnya orang-orang di facebook Big Bad Wolf, kecewa karena buku bagus diborong jastiper. Harusnya manajemen BBW membatasi pembelian buku per judul per orang. Belum lagi ada selisih harga antara kasir dan label di buku, kasir yang memindai (scan) barcode harga 2x padahal barang yang dibeli cuma 1, dll
- Sepertinya orang-orang daerah belum pernah melihat roller coaster di dalam ruangan, makanya berduyun-duyun ke transmart. Liat aja setelah beberapa bulan, paling juga kembali sepi, dan pada bilang MAHAL! HEHEHE…
Pengalamanku sebagai FOMO
Aku sendiri mengakui kalau seorang fomo, tetapi nggak separah kalian. Karena sebelum aku terhanyut dalam euforia hal kekinian tersebut, aku sudah lebih dulu merasakan pengalaman kalau memanfaatkan fomo itu gaungnya cuma sebentar. Selain itu, biasanya suamiku selalu jadi tameng pertama apakah kita perlu mencoba “gaul” seperti orang-orang atau tidak.
Aku kan dulu pernah jualan minuman kekinian, Randol alias Radja Cendol. Cendol kekinian dengan susu dengan toping aneka rasa. Waktu tahun 2015 masih hot-hotnya tuh momen randol, aku dan suami mengambil franchise tersebut. Lalu masuklah aku ke grup enterpreneur pada pengusaha randol. Sadar kalau bisnis ini diterusin bukannya untung, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti sebelum rugi. Temen-temen pengusaha randol yang dulu satu grup juga suka pada kukut (bangkrut) dan memilih bisnis lainnya. Tapi lumayanlah, aku dan suami pernah merasakan menjadi pengusaha, punya karyawan, bisa memberikan uang/gaji ke orang lain, dll.
Makanan oleh-oleh kekinian mungkin dianggap mematikan UKM oleh-oleh asli daerah tersebut, tetapi menurutku nggak juga. Orang-orang pada akhirnya tetap menyukai jajanan ndeso, yang klasik lebih bertahan lama dan lebih disukai. Lama-kelamaan orang akan enek pada oleh-oleh jajanan pastry. Buktinya, penjual cendol / dawet biasa lebih awet dan bertahan lama menjalankan bisnisnya hingga tahunan daripada cendol kekinian.
Intinya.. dulu (sekitar tahun 2012-2015) aku pernah seperti orang kalap saat pertama kali datang ke Tangerang / Jakarta. Maklumlah.. ibarat orang dari kampung, melihat hal modern di kota besar. Hal-hal baru apapun dicoba, nggak mau kalah. Tapi sekarang usia sudah lebih dewasa, sudah paham, sudah pernah merasakan euforia tersebut, ya jadinya biasa aja. Malah kadang males ikut-ikutan hal tersebut. Misalnya mau mencoba, paling nanti nunggu nggak ramai.
Hal-hal FOMO yang ingin aku coba..
Kalau sekarang aku lebih maksa suami untuk nyobain kuliner baru deket rumah. Seperti ayam gepuk, sate taichan, roti bakar aneka rasa, indomie yang dimodifikasi, dll. Kenapa? Soalnya dalam beberapa bulan biasanya mereka tutup. Hahaha.. seriusan, tutup! Jadi setiap ada resto baru, tempat usaha baru.. pasti nggak bertahan lama di sana. Entah karena jiwa dagang mereka kurang setrong, sepi pembeli atau sewa tempat yang mahal. Makanya.. untuk hal ini menjadi fomo itu penting.
FOMO Berbahaya?
Iya menurutku juga bahaya. Bahayanya kalau kamu kepingin dianggap gaul, ikut-ikutan tapi nggak punya uang. Jadilah muncul BPJS alias golongan budget pas-pasan jiwa sosialita. Bayangin kalau anak remaja kena fomo akut? Orangtuanya gaji pas-pasan dimintai uang terus buat anaknya makan2 enak kekinian, demi bisa gaul sama temen-temennya. Menurutku, jadi FOMO yang sesuai kantong lah.. sesuai kemampuan aja. Dikatain nggak gaul bukan jaminan masuk neraka kok, tenang aja.
Jadi kalau ada yang ngatain kamu FOMO, atau misalnya aku ngatain kamu fomo, ya lemesin aja say.. nggak usah nyolot pake otot. Santai kyk dipantai dan balas “sesama orang fomo dilarang saling mendahului” dan jangan lupa emote smile. Kalau perlu introspeksi diri, apakah kamu fomo akut atau masih dalam tahap normal. Biasanya kalau yang baperan itu udah tahap akut. Banyak kok orang yang fomo, aku juga fomo, dan nggak usah malu atau merasa tersinggung dan baper.